Keseimbangan pola pikir manusia
PERKEMBANGAN POLA PIKIR MANUSIA DI EROPA DAN DUNIA ISLAM
1. Perkembangan Pola Pikir Manusia
Manusia memiliki ciri yang khusus yang tidak dimiliki oleh makhluk lain (makhluk hewan dan tumbuhan). Ciri-ciri tersebut adalah manusia memiliki: akal budi, rasa ingin tahu, kemauan yang lebih baik dan lain-lain.
Bila dibandingkan makhluk lain tubuh manusia lebih lemah. Tetapi rohaninya (akal, budi dan kemauan) jauh lebih kuat. Hal ini terbukti, saat ini manusia telah mampu menguasai dunia an hewan. Itu semua dapat terjadi karena hanya manusia yang memiliki akal budi dan kemauan yang keras.
Manusia sebagai makhluk berpikir dibekali hasrat ingin tahu terhadap benda dan semua peristiwa yang terjadi di sekitarnya, bahkan juga ingin tahu terhaap dirinya sendiri. Pada hakikatnya, perkembamgan pikiran manusia didasari dari dorongan rasa ingin tahu dan ingin memahami serta memacahkan masalah yang dihadapi. Berawal dari hal inilah, akhirnya manusia dapat mengumpulkan pengetahuan.
Rasa ingin tahu pada manusia tidak sama. Rasa ingin tahu manusia terus berkembang seakan tidak ada batasnya. Hal ini mengakibatkan perbendaharaan pengetahuan manusia semakin bertambah, tidak saja meliputi kebutuhan-kebutuhan praktis dalam hidunya sehari-hari, tetapi pengetahuan manusia juga berkembang sampai kepada hal-hal yang menyangkut keindahan.
2. Perkembangan Pola Pikir Manusia di Eropa
Setidak-tidaknya, tidak ada keseimbangan antara pengetahuan barat tentang Islam, walaupun pandangannya menyudutkan kaum muslim, dengan pemahaman Islam tentang agama di Barat menurut sudut pandang Islam.
Dua pertentangan sudut pandang diametris tentang agama di Barat muncul di kalangan muslim. Sebagian menganggap seluruh orang barat adalah penganut Kristen, dengan minoritas Yahudi sebagai kecualian dan sering merujuk orang barat sebagai “orang-orang Nasrani” seolah olah Barat adalah Barat abad pertengahan ketika terjadi perang salib dan peradaban barat yang hidup saat itu disebut abad keimanan. Tentu saja kristen menjadi dominan di Barat sejak kebangkitan peradaban Barat Abad Pertengahan.
Agama Kristen dalam bentuk Katoliknyalah yang bertanggung jawab terhadap apa yang kemudian dikenal sebagai abad pertengahan ketika beberapa lembaga paling penting di Barat termasuk juga pola-pola pemikirannya dirumuskan dan dikristalisasikan, juga menjadi periode yang menandai masa keemasan seni suci di Barat.
Protestanisme dan katolikisme tidak harus dibandingkan dengan mahzab Sunni dan Syi’ah dalam konteks Islam seperti yang dilakukan oleh para sarjana tertentu. Berbeda dengan katolikisme yang mempertahankan struktur terpadu dan monolitknya melalui kepausan dan hierarki yang menjadi dasar gereja, Protestanisme segera terjadi menjadi beberapa aliran.
Katolikisme terus menekan pada aspek ritual agama dan mempunyai dimensi tertentu yang berdekatan dengan penekanan ritual dalam Islam, sementara Protestanisme biasanya memberi penekanan lebih besar kepada aksi sosial dan juga tanggung jawab individu, gambaran yang juga mempunyai persamaan tertentu dengan ajaran sosial islam dan penekanan Islam terhadap hubumgan langsung setiap individu dengan Tuhan.
Sejak renaisans hingga hari ini, agama Kristen dan juga dalam beberapa hal agama Yahudi di Barat, telah terlibat dalam pertempuran terus-menerus melawan berbagai ideologi, filsafat, lembaga dan praktek yang bersifat sekuler dan yang menentang otoritas agama dan kenyataan hal itu sangat valid serta terlegitimasi.
Pertama-tama, secara bertahap sekulerisme memisahkan filsafat dan kemudian sanis dari pengaruh agama dan kemudian pula bergerak memisahkan gagasan politik, ekonomi dan sosial serta lembaga-lembaga yang mempertimbangkan pentingnya agama pada periode abad pertengahan di Barat dari alam makna agama.
Agar memahami situasi agama di Barat modern, juga penting membahas modernisasi dan sekulerisasi agama bersamaan dengan kemunculan gerakan-gerakan agama modern di luar konteks gereja-gereja kristen tradisional. Fenomena religius lain yang penting dipahami bersamaan dengan yang disebut, “agama-agama baru”, dan kebangkitan kembali agama-agama kuno itu adalah banyak orangdi Barat yang menengok agama-agama di Timur sebagai bimbingan dan pertolongan. Sebagian menengok pada agama Hindu, yang lain pada Budha dan beberapa pada Islam khususnya ajaran sufi dalam Islam.
Saat ini peran agama di Barat sangat berbeda dibandingkan perannya dalam dunia Islam. Seluruh masyarakat Barat mengklaim dirinya sekuler dan memberlakukan hukum bukan dari agama tetapi dari pemungutan suara setidaknya di negara-negara demokrasi.
Dalam matriks kekuatan serta pola yang rumit inilah peran agama di Barat harus dipahami saat ini. Dan juga kita harus memahami peran Islam di Barat saat ini dalam cahaya sekulerisasi agama tradisonal sekaligus pencarian terhadap makna dan penemuan kembali agama sebagai fondasi kehidupan manusia di Barat. Saat ini Islam merupakan agama yang perkembangannya sangat cepat di Barat seperti halnya juga di Afrika dan beberapa wilayah tertentu belahan dunia lainnya. Islam adalah agama terbesar kedua di Eropa dan menjelamg tahun 2000 mungkin akan menyamai agama yahudi sebagai agama kedua dalam jumlah penganutnya di Amerika.
3. Perkembangan Pola Pikir Manusia dalam Dunia Islam
Islam bukan hanya sebuah agama, tetapi juga basis peradaban yang sangat luas menyebar dari Atlantik ke Pasifik dan mencakup banyak kelompok etnis termasuk Arab, Persia, Indo-Pakistan, Malaysia Cina, Afrika, dan lain-lain. Peradaban yang luar biasa ini telah menghasilkan sejumlah gerakan spiritual. Aliran, teologi, filsafat dan sains ; yang berada di antara peradaban besar terkaya lainnya dalam wilayah kegiatan intelektual.
a. Spiritualitas Islam
persoalan spiritualitas Islam tentu saja berhubungan langsung dengan Al-Qur’an dan sunah Nabi. Dalam sejarah Islam aspek tradisi Islam ini dikenal sebagai althariqah ila’llahlah, yang makna literalnya berarti jalan menuju Tuhan, dan kemudian pada suatu waktu dalam kurun kedua abad Islam, dikenal dengan nama tasawuf.
Pentingnya thuruq (bentuk jamak dari thariqah) dalam sejarah Islam tidak dapat dilebih-lebihkan. Denyut masyarakat Islam dalam selama berabad-abad biasanya dicapai oleh orang-orang yang mengikuti jalan spiritual, oleh para sufi besar seperti Syekh ‘Abd Al-Qadir Al-Jailani atau Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali atau yang menyusul kemudian Syekh Ahmad Sirhindi di India dan masih banyak yang lainnya. Para pengikut jalan spiritual juga memainkan peran penting dalam penyebaran Islam. Islam menyebar ke Persia, melintasi Afrika Utara dan masuk ke Spanyol melalui angkatan bersenjata Arab. Lebih jauh lagi, thuruq memainkan peran sangat penting dalam berbagai aspek kehidupan selama periode ‘Ustmaniyyah.
Para pengikut jalan ini juga memberi sumbangan penting dalam pertahanan intelektual Islam, karena mereka mempunyai akses terhadap kebenara metafisika tertinggi tradisi Islam.
Hingga abad kedua sejarah Islam, para pengikuti tarekat yang beranagsur-angsur dikenal sebutan sufi itu menampilkan tokoh-tokoh individu tertentu sebagai guru spiritual. Secara bertahap perkumpulan ajaran tarekat menjadi lebih terorganisasi dan pada abad ketiga islam, di kota Baghdad yang dipimpin wali Al-Junayd, seorang sufi terkenal waktu itu, perkumpulan sufi menjadi lebih diformalkan. Dua abad kemudian perkumpulan-perkumpulan ini ditransformasikan menjadi paguyuban-paguyuban sufi atau thuruq, biasanya berdasarkan nama pendirinya seperti ‘Abd Al-Qadir Al-Jailani yang namanya dipakai tarekat Qadiriyyah, yang pengikutnya masih eksis sampai hari ini mulai dari selatan Filiphina sampai Maroko, atau Syekh Ahmad Al-Rifa’i, pendiri tarekat Rifa’iyyah.
Beberapa abad kemudian banyak tarekat sufi tumbuh di Negara-negara Islam. Termasuk yang terkenal adalah tarekat Syadziliyyah yang didirikan oleh Syekh Abul-Hasan Al-Syadzili. Tarekat naqsabandiyyah, asli persia, yang pusatnya, ada di Afganistan; dan tarekat mawlawiyyah yang namanya diambil Mawlana Jalal Al-Din Rumi. Tarekat terbesar lainnya antara lain Tarekat Tijaniyyah di Afrika Utara; Tarekat Ni’matullahi yang menjadi Tarekat paling populer di Iran.
Para tarekat sufi selama berabad-abad dianggap mampu memelihara perintah Nabi sebagaimana aslinya. Namun saat ini, tidak diragukan lagi ada beberapa praktek palsu yang mencemari beberapa tarekat sufi yang menjadikannya dekade khususnya dalam dua ratus tahun terakhir ini, namun kehidupan tarekat sufi sendiri senantiyasa mampu menggelotakan kembali diri mereka dan sampai hari ini mereka terus memainkan peran penting dalam kehidupan intelektual Islam.
b. Teologi Islam (Kalam)
Istilah ini mengacu kepada pemahaman tentang firman Tuhan (Kalam Allah) atau Al-Qur’an dan pembangun bentuk Islam ini adalah Ali bin Abi Thalib yang juga sekaligus mutakallim pertama atau ulama kalam.
Setelah nabi Islam wafat, masyarakat saat itu menghadapi berbagai masalah tertentu yang menuntut pemikiran manusia terutama yang muncul saat dikonfrontasikan dengan kehidupan beragama. Perdebatan pun diwarnai oleh kehadiran agama lain di tengah-tengah kaum muslim, agama-agama yang penganutnya juga memiliki pertanyaan serupa selama berabad-abad, seperti masyarakat Kristen, Yahudi, Majusi, Manichaean dan bahkan Sabaean.
c. Mu’tazilah
Tokoh utama yang mula-mula mengajarkan kalam adalah Hasan Al-Basri. Selama hidupnya, beliau mengajarkan hadis, dan tafsir Al-Qur’an kepada generasi kaum muslim. Hasan Al-Basri juga mengajarkan ilmu yang kemudian dikenal sebagai kalam, yakni doktrin yang berkenaan dengan permasalahan seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Ada salah seorang murid beliau, Washil bin ‘Atha yang “memisahkan” diri (I’tazala) dari ajaran Hasan dan mendirikan mahzab yang disebut Mu’tazilah, berasala dari kata Arab Al-Mu’tazilah. Mahzab ini terkenal dengan lima prinsip yang berkaitan dengan berbagai bidang ;
- pertama : Keesaan Ilahi (Al-Tauhid),
- kedua : Keadilan Ilahi (Al-‘Adl),
- ketiga : Pahala dan pembalasan (Al-Wa’d wal Wa’id),
- keempat : Perhentian di antara dua perhentian (Al-Manzil baina manzilatain), dan
- kelima : Mengajak pada kebaikan dan melarang kemungkaran (Al-Amr bil ma’ruf wal nahy’an Al-munkar).
Selama kekuasaan khalifah Al-Ma’mun, Mu’tazilah berada pada puncak kekuatan mereka di Baghdad. Namun secara berangsur-angsur, kekuatan MU’tazilah kemudian mulai surut. Mereka kehilangan dukungan dari Khalifah dan pada tahun tiga ratus hijrah salah seorang anggotanya yang bernama Abul Hasan Al-Asy’ari bangkit melawan mereka, dan mendirikan mahzab yang baru kalam yang disebut Asy’ari (Al-Asy’ariyyah). Abul Hasan Al-Asy’ari adalah pengikut Syafi’i dan dengan cepat beliau mendapat pengikut dari kalangan mahzab Syafi’i. Hingga abad Islam kelima, pengaruh paham Asy’ari hanya terbatas di antara kaum Syafi’i. Pada masa ini di Khurasan berkembang aliran baru kalam (kalam Muta’akhirin)yang dibangun oleh imam Al-Haramayn Al-Juwayni. Setelah beliau, kalam Al-Muta’akhirin (kalam baru) dikembangkan secara mendalam hingga abad islam kedelapan.
Selain pengaruh paham Asy’ari, ada juga bentuk-bentuk perkembangan kalam hanafi tertentu yang dihubungkan dengan Al-Maturidi dan Al-Thahawi yang populer di beberapa wilayah khususnya di Khurusan dan Mesir. Pada abad Islam ketiga belas di Mesir, sejumlah pemikir keagamaan muncul, yang paling penting di antaranya adalah Jamal Al-Din Al-Afghani dan Muhammad ‘Abduh, yang berusaha kembali menghidupkan kalam dan menambahkan ketertinggalannya dengan menampilkan beberapa tesis baru tertentu, serta berusaha menyelesaikan beberapa masalah yang muncul dikalangan umat Islam yang diakibatkan oleh peradaban modern.
d. Kalam Syi’ah
Mengenai kalam Syi’ah, mahzab Syi’ah Isma’illiyyah mengembangkan kalam pada awal sejarah Islam. Setelah berdirinya dinasti Fathimiyyah di Mesir, kairo menjadi pusat kegiatan teologi Isma’iliyyah sementara khurasan di Persia menjadi pusat lain yang cukup besar juga.
Pada abad Islam ketujuh sebuah kalam Syi’ah yang sistematis dikembangkan oleh Nashir Al-Din Al-Thusi. Kenyataan ini agak aneh karena Nashir Al-Din adalah salah seorang astronom dan ahli matematika yang juga seorang teolog.
e. Filsafat
Nabi menganjurkan kaum muslim untuk mencari ilmu di mana pun mereka dapat menemukannya bahkan sampai jauh ke negeri Cina seperti yang dinyatakan oleh hadis terkenal “ Carilah ilmu walaupun sampai ke ngeri Cina”.
Kaum muslim tidak mempunyai alasan eksternal untuk menerjemahkan karya-karya luar ke dalam bahasa Arab. Alasannya justru berasal dari dalam struktur agama islam itu sendiri, yaitu, islam sangat mementingkan ilmu pengetahuan dan kekayaan bahwa islam menyebutkan dirinya sebagai umat islam yang terakhir, dan mewariskan setiap wahyu serta ilmu pengetahuan yang sesuai dengan prinsip Al-Tauhid (keesaan Ilahi). Dengan ajaran Islam ini dihadapan mereka, kaum muslim pernah memapankan fondasi masyarakat Islam dengan merujuk pada penerjemahan karya-karya luar yang berisi berbagai bentuk pengetahuan.
Periode pucak penerjemahan itu terjadi di Baghdad pada masa pemerintahan Al-Ma’mum. Pada saat itu Bayt Al-Hikmah (Gedung Kebijaksanaan) yang terkenal dibentuk oleh para penerjemah terbaik diundang dari berbagai pelosok untuk menerjemahkan karya-karya ke dalam bahasa Arab. Hasil usaha para penerjemah ini adalah kaum muslim dapat mempelajari ilmu pengetahuan dan filsafat purbakala dan memberi tantangan yang harus ditanggapi oleh kaum muslim.
f. Peripatesis Awal (Masyasya’un)
Dalam iklim intelektual di Baghdad, beberapa pemikiran muslim tertintu mulai berpikir tentang hubungan antara wahyu dengan akal dan berusaha mengharmoniskan ajaran islam dengan filsafat yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Yang pertama dan terdepan di antaranya adalah Abu Ya’qub Al-Kindi. Beliau mencoba untuk menulis hal-hal yang berkaitan dengan watak agama dan filsafat seperti hubungan antara filsafat dengan wahyu dan penalaran, makna akal, hubungan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan dan banyak persoalan kunci lainnya.
Al-Kindi hidup pada abad Islam ketiga dan sesudah kejatuhan Mu’tazilah di Baghdad beliau menasingkan diri meninggal dunia dalam kesunyian. Beliau diteruskan oleh sejumlah muridnya yang kebanyakan adalah ilmuwan tetapi juga diteruskan secara tidak langsung oleh Abu Nashr Al-Farabi. Al-Farabi, salah seorang jenius terbesar yang pernah dilahirkan peradaban islam. Beliau merupaka bapak filsafat politik Islam yang menulis buku terkenal Ara’ Ahl Al-Madinah Al-Fadhilah (Pendapat-pendapat warga negara utama). Beliau mencoba menyelaraskan filsafat Plato dan Aristoteles dalam konteks pandangan keesaan Islam.
Baghdad berlanjut menjadi pusat filsafat yang penting pada abad Islam keempat dan tokoh-tokoh seperti Abu Sulayman Al-Sijistani, terus mengajarkan filsafat di Baghdad tetapi lambat laun kegiatan filsafat islam beralih ke Khurasan. Di sinilah Abul-Hasan Al-‘Amri berusaha meneruskan karya Al-Farabi dan Al-Kindi dalam memngembangkan filsafat Islam pada masa-masa awal., dan kemudian dikenal sebagai filsafat Islam Peripatesis.
Namun karya Al-‘Amri dan filosuf-filosuf lain setelah Al-Farabi, tertupi oleh kemunculan Abu ‘Ali Ibn Sina yang tidak diragukan lagi menjadi filosuf-ilmuwan Islam terkemuka dan salah seorang jenius dunia yang pernah dilahirkan peradaban ini. Masyarakat barat memberinya gelar “Pangeran Para Dokter”, dan bukunya Al-Qur’an Fil-Thibb (Peraturan-peraturan Kedokteran)” bukan hanya menjadi buku kedokteran paling terkenal yang pernah ditulis, tetapi juga sangat penting sebagai filsafat kedokteran.
g. Serangan Terhadap Filsafat Peripatesis
Setelah Ibn Sina, perkembangan filsafat islam di wilayah Timur redup untuk beberapa waktu karena serangan kalam terhadapnya. Serangan terbesar terhadap filsafat islam datang dari Al-Ghazali yang mengejar para filosuf islam agar menentang filsafat tersebut terutama dalam tiga hal. Yaitu penciptaan dunia dari tidak ada apa-apa sama sekali, pengetahuan Tuhan tentang hal-hal yang khusus dan kebangkitan jasad. Kemudian Al-Ghazali mengkritik mereka dalam bukunya yang terkenal Tahagut Al-Falasiyah (hancurnya filsafat). Setelah dia, Abul Fath Al Syahrastani dan Fakhr Al-Din Al-Razi ikut menyerang Ibn Sina dan para filosuf Peripatesis pada masa awal lainnya. Akibatnya, antara abad Islam kelima dan ketujuh, Filsafat Islam di wilayah Timur makin meredup.
h. Filsafat Islam di Magrib
Ketika filsafat meredup di Timur, pada saat yang sama merupakan periode yang penting meluasnya filsafat islam di wilayah Barat, di Spanyol dan Maroko. Pada saat, itu muncul sejumlah filsuf antara lain Ibn Bajjah dan Ibn Thufayl . serta Ibn Rusyd yang menjadi filosuf Peripatesis paling terkenal di Magrib.
Ibn Rusyd, seorang qadi Cordova, adalah seorang hakim agung dan penafsir syari’ah tetapi pada saat yang sama juga seorang filosuf besar yang tertarik pada hubungan antara agama dan filsafat; dia menulis karya tentang hal ini, di antaranya Fashl Al-Maqaal (risalah yang meyakinkan). Setelah Ibn Rusyd , beberapa tokoh filosu penting lainnya muncul di wilayah Barat dunia Islam seperti Ibn Khaldun dan Ibn Sabin. Setelah para tokoh ini, filsafat Islam di Barat dan kebanyakan Negara Arab mencampuradukannya dengan kalam pada satu sisi, dan makrifat teoritis atau Mahzab Tasawuf Ibn ‘Arabi di sisi lain yang sekaligus menandai kematiannya sebagai mahzab yang berdiri sendiri.
i, Kebangkitan Kembali Filsafat Islam di Timur
Di wilayah Timur Islam, khususnya di Persia, situasinya agak berbeda. Di tempat ini pada abad Islam keenam, muncul aliran filsafat baru yang dibangun oleh Syekh Al-Isyraq Syihab Al-Din Al-Suhrawardi, sehingga nama mahzabnya menjadi Al-Isyraq (pencerahan). Suhrawardi menulis sejumlah karya penting dan paling terkenal adalah hikmah Al-Isyraq (filsafat pencerahan), sebuah buku yang sangat berpengaruh dalam sejarah pemikiran Islam berikutnya. Tetapi dia juga menganggap ajaran Ibn Sina sebagai syarat mutlak yang diperlukan untuk memahami mahzab pencerahan.
Satu generasi setelah Suhrawardi, pada awal abad ketujuh, Nahir Al-Din Al-Thusi, ahli matematika, astronom dan teolog terkenal yang juga filosuf besar, berusaha menghidupkan kembali mahzah Ibn Sina. Sejak saat itu, mahxab ini sekali lagi berkembang di wilayah Timur Islam.
j. Mahzab Isfahan
Mahzab Isfahan dibangun oleh Mir Damad, seorang penyair, teolog sekaligus filosuf, yang mencoba mengkombinasikan ajaran Ibn Sina dan Suhrawardi. Karyanya yang paling terkenal adalah Al-Qabasat (para penghasut) yang mendiskusikan panjang lebar buah pikirannya tentang waktu dan penciptaan dunia.
Angoota mahzab Isfahan yang paling penting dan berpengaruh adalah murid Mir Damad sendiri, Shadra Al-Din Syirazi atau Mulla Shadra. Mulla Shadra menulis sejumlah penafsiran Al-Qur’an yang penting tetapi karyanya yang paling penting adalah Al-Asfar Al-‘Arabi’ah fil-Hikmah Al-Muta’aliyyah (empat perjalanan) yang menyerupai “karya terakhir” filsafat islam dan dipelajari sampai hari ini oleh para terpelajar dibidangnya. Dia melakukan transformasi besar-besaran dalam pemikiran Islam dan pendirir Mahzab intelektual penting terakhir yang sangat berpengaruh bukan hanya di Persia tetapi juga dikalangan muslin India maupun Irak, dan masih bertahan hingga hari ini.
Komentar
Posting Komentar